Istana negara di jalan Medan Merdeka
Utara, Jakarta 10 April 2008
--------------------------
Istana
Negara dan Istana Merdeka yang berada di satu kompleks di Jalan Medan Merdeka
Utara, Jakarta,
merupakan dua buah bangunan utama yang luasnya 6,8 hektare (1
hektare = 1 hektometer persegi = 10000 meter persegi) dan terletak di antara
Jalan Medan Merdeka Utara dan Jalan Veteran, serta dikelilingi oleh sejumlah
bangunan yang sering digunakan sebagai tempat kegiatan kenegaraan. Dua bangunan
utama adalah Istana Merdeka yang menghadap ke Taman Monumen Nasional
(Monas)(Jalan Medan Merdeka Utara) dan Istana Negara yang menghadap ke Sungai
Ciliwung (Jalan Veteran).
foto. Het paleis van de
gouverneur-generaal in Rijswijk, Batavia
Tanggal,
1857-1872
------------------------
Sejajar
dengan Istana Negara ada pula Bina Graha. Sedangkan di sayap barat antara
Istana Negara dan Istana Merdeka, ada Wisma Negara. Pada awalnya di kompleks
Istana di Jakarta ini hanya terdapat satu bangunan, yaitu Istana Negara. Gedung
yang mulai dibangun 1796 pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Pieter
Gerardus van Overstraten dan selesai 1804 pada masa pemerintahan Gubernur
Jenderal Johannes Siberg ini semula merupakan rumah peristirahatan luar kota
milik pengusaha Belanda, J A Van Braam. Kala itu kawasan yang belakangan
dikenal dengan nama Harmoni memang merupakan lokasi paling bergengsi di Batavia
Baru. Pada tahun 1820 rumah peristirahatan van Braam ini disewa dan kemudian
dibeli (1821) oleh pemerintah kolonial untuk digunakan sebagai pusat kegiatan
pemerintahan serta tempat tinggal para gubernur jenderal bila berurusan di
Batavia (Jakarta). Para gubernur jenderal waktu itu kebanyakan memang memilih
tinggal di Istana Bogor yang lebih sejuk. Tetapi kadang-kadang mereka harus
turun ke Batavia, khususnya untuk menghadiri pertemuan Dewan Hindia, setiap
Rabu. Rumah van Braam dipilih untuk kepala koloni, karena Istana Daendels di
Lapangan Banteng belum selesai. Tapi setelah diselesaikan pun gedung itu hanya
dipergunakan untuk kantor pemerintah. Selama masa pemerintahan Hindia Belanda,
beberapa peristiwa penting terjadi di gedung yang dikenal sebagai Istana
Rijswijk (namun resminya disebut Hotel van den Gouverneur-Generaal, untuk
menghindari kata Istana) ini. Di antaranya menjadi saksi ketika sistem tanam
paksa atau cultuur stelsel ditetapkan Gubernur Jenderal Graaf van den Bosch.
Lalu penandatanganan Persetujuan Linggarjati pada 25 Maret 1947, yang pihak
Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir dan pihak Belanda diwakili oleh H.J. van
Mook. Pada mulanya bangunan seluas 3.375 m2 berarsitektur gaya Yunani Kuno ini
bertingkat dua. Tapi pada 1848 bagian atasnya dibongkar; dan bagian depan
lantai bawah dibuat lebih besar untuk memberi kesan lebih resmi. Bentuk
bangunan hasil perubahan 1848 inilah yang bertahan sampai sekarang tanpa ada
perubahan yang berarti. Sebagai pusat kegiatan pemerintahan negara, saat ini
Istana Negara menjadi tempat penyelenggaraan acara-acara yang bersifat
kenegaraan, antara lain pelantikan pejabat-pejabat tinggi negara, pembukaan
musyawarah dan rapat kerja nasional, kongres bersifat nasional dan internasional,
dan jamuan kenegaraan. Karena Istana Rijswijk mulai sesak, pada masa
pemerintahan Gubernur Jenderal J.W. van Lansberge tahun 1873 dibangunlah istana
baru pada kaveling yang sama, yang waktu itu dikenal dengan nama Istana Gambir.
Istana yang diarsiteki Drossares pada awal masa pemerintahan RI sempat menjadi
saksi sejarah penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia
Serikat (RIS) oleh Pemerintah Belanda pada 27 Desember 1949. Waktu itu RI
diwakili oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX, sedangkan kerajaan Belanda diwakili
A.H.J Lovinnk, wakil tinggi mahkota Belanda di Indonesia. Dalam upacara yang
mengharukan itu bendera Belanda diturunkan dan Bendera Indonesia dinaikkan ke
langit biru. Ratusan ribu orang memenuhi tanah lapangan dan tangga-tangga
gedung ini diam mematung dan meneteskan air mata ketika bendera Merah Putih
dinaikkan. Tetapi, ketika Sang Merah Putih menjulang ke atas dan berkibar,
meledaklah kegembiraan mereka dan terdengar teriakan: Merdeka! Merdeka! Sejak
saat itu Istana Gambir dinamakan Istana Merdeka. Sehari setelah pengakuan
kedaulatan oleh kerajaan Belanda, pada 28 Desember 1949 Presiden Soekarno
beserta keluarganya tiba dari Yogyakarta dan untuk pertama kalinya mendiami
Istana Merdeka. Peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus di
Istana Merdeka pertama kali diadakan pada 1950. Sejak masa pemerintahan Belanda
dan Jepang sampai masa pemerintahan Republik Indonesia, sudah lebih dari 20
kepala pemerintahan dan kepala negara yang menggunakan Istana Merdeka sebagai
kediaman resmi dan pusat kegiatan pemerintahan negara.
Sebagai
pusat pemerintahan negara, kini Istana Merdeka digunakan untuk penyelenggaraan
acara-acara kenegaraan, antara lain Peringatan Detik-detik Proklamasi, upacara
penyambutan tamu negara, penyerahan surat-surat kepercayaan duta besar negara
sahabat, dan pelantikan perwira muda (TNI dan Polri). Bangunan seluas 2.400 m2
itu terbagi dalam beberapa ruang. Yakni serambi depan, ruang kredensial, ruang
tamu/ruang jamuan, ruang resepsi, ruang bendera pusaka dan teks proklamasi.
Kemudian ruang kerja, ruang tidur, ruang keluarga/istirahat, dan pantry
(dapur). Sepeninggal Presiden Soekarno, tidak ada lagi presiden yang tinggal di
sini, kecuali Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY). Presiden Soeharto yang menggantikan Soekarno memilih tinggal di Jalan
Cendana. Tapi Soeharto tetap berkantor di gedung ini dengan men-set up sebuah
ruang kerja bernuansa penuh ukir-ukiran khas Jepara, sehingga disebut sebagai
Ruang Jepara serta lebih banyak berkantor di Bina Graha.